Pada 15-20 Oktober 1945, Semarang menjadi saksi pertempuran sengit antara pemuda Indonesia dan pasukan Jepang, yang kini dikenal sebagai Pertempuran Lima Hari di Semarang. Konflik ini dipicu oleh kematian dr Kariadi, seorang dokter yang menjadi tokoh penting dalam peristiwa tersebut. Pertempuran ini meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Kota Semarang dan diabadikan melalui Tugu Muda, yang diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 20 Mei 1953 sebagai monumen peringatan perjuangan tersebut.
Latar Belakang Pertempuran Lima Hari
Pada 14 Oktober 1945, tersebar berita bahwa pasukan Jepang meracuni sumber air minum di kawasan Candi, Semarang. Kabar ini menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat, terutama karena air merupakan sumber kehidupan penting. Untuk memeriksa kebenaran kabar tersebut, dr Kariadi, Kepala Laboratorium Malaria di Rumah Sakit Rakyat Semarang, ditugaskan untuk menyelidiki. Namun, dalam perjalanan, dr Kariadi dicegat dan ditembak oleh tentara Jepang, menyebabkan kematiannya. Berita kematian ini menyulut kemarahan besar di kalangan masyarakat Semarang.
Dimulainya Pertempuran
Keesokan harinya, pada 15 Oktober 1945, kemarahan atas kematian dr Kariadi memuncak, dan pemuda Semarang, bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mulai melawan pasukan Jepang yang masih berada di Semarang. Pertempuran pertama terjadi ketika pasukan Jepang melancarkan serangan ke berbagai titik penting di kota, termasuk markas polisi dan TKR. Meskipun Jepang berhasil mengeksekusi beberapa pemuda, pejuang Indonesia membalas dengan menyerang gudang amunisi Jepang, memperluas pertempuran ke seluruh kota.
Perluasan Pertempuran
Pada 16 Oktober 1945, pertempuran semakin sengit. Pasukan Jepang berhasil menguasai beberapa area strategis seperti Candi Lama, Candi Baru, Simpang Lima, dan Pandanaran. Mereka juga menyerang Penjara Bulu dan melakukan eksekusi terhadap para tahanan di sana. Kondisi ini terus berlanjut hingga 17 Oktober 1945, ketika Gubernur Jawa Tengah, K.R.M.T. Wongsonegoro, dibawa oleh pasukan Jepang untuk menyaksikan korban-korban yang tewas di Penjara Bulu. Meskipun Presiden Sukarno berusaha menghentikan konflik melalui perundingan, kesepakatan gencatan senjata baru tercapai beberapa hari kemudian.
Akhir Pertempuran dan Kedatangan Sekutu
Pada 19 Oktober 1945, pasukan Jepang mencoba menguasai pelabuhan Semarang. Kota ini hampir seluruhnya berada di bawah kendali Jepang. Namun, pada hari yang sama, pasukan Sekutu, yang terdiri dari Brigade Inggris-India di bawah komando Brigadir Jenderal Bethell, tiba di Semarang dengan kapal perang HMS Glenroy. Pasukan Sekutu datang untuk melucuti senjata Jepang dan membantu mengembalikan stabilitas.
Pada 20 Oktober 1945, perundingan antara Indonesia, Jepang, dan Sekutu berhasil menghentikan pertempuran. Pasukan Jepang diperintahkan untuk membebaskan para tawanan dan menyerahkan senjata mereka kepada pihak Sekutu. Dengan tercapainya kesepakatan ini, Pertempuran Lima Hari di Semarang berakhir.
Peran dr Kariadi dalam Pertempuran
dr Kariadi, yang lahir pada 15 Mei 1902, adalah sosok dokter yang dikenal atas dedikasinya dalam bidang kesehatan. Setelah menyelesaikan pendidikan di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya pada tahun 1931, ia mengabdikan dirinya di berbagai daerah, termasuk Malang, Martapura, dan Manokwari. Di Manokwari, ia dikenal karena usahanya dalam menangani wabah malaria yang melanda wilayah tersebut.
Selama pendudukan Jepang, dr Kariadi menjabat sebagai Kepala Laboratorium Malaria di Rumah Sakit Rakyat Semarang. Ia terus melakukan penelitian dan berhasil menemukan obat alami dari minyak daun kenanga, yang dikenal sebagai Oleum Promicroscopiekar, yang sangat berguna dalam pengobatan malaria.
Namun, jasa terbesar dr Kariadi dikenang melalui pengorbanannya pada peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang. Sebagai dokter yang peduli pada rakyat, ia rela berkorban hingga akhir hayatnya. Untuk menghormati jasanya, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit utama di Semarang, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat dr Kariadi.
Warisan Pertempuran Lima Hari
Pertempuran Lima Hari di Semarang diabadikan melalui Tugu Muda, monumen yang menjadi simbol perjuangan rakyat Semarang. Dihiasi relief yang menggambarkan perjuangan, pengorbanan, dan kemenangan, Tugu Muda menjadi saksi bisu atas sejarah panjang yang melibatkan darah, nyawa, dan semangat kemerdekaan.