Pemkab Magelang dan KMPP Bersama Tekan Jumlah Anak Tidak Sekolah dengan Pendekatan Humanis
Untuk menekan angka Anak Tidak Sekolah (ATS), Pemerintah Kabupaten Magelang bekerja sama dengan Komunitas Masyarakat Peduli Pendidikan (KMPP) mengadopsi pendekatan humanis dalam mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan pendidikan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappeda dan Litbangda) Kabupaten Magelang, Taufik H. Yahya, menyampaikan bahwa jumlah ATS di wilayah Magelang terus mengalami perubahan setiap tahunnya.
“Jumlah ATS di Kabupaten Magelang untuk usia 7-18 tahun mengalami fluktuasi. Pada 2022 tercatat ada 128 anak, sementara pada 2023 meningkat menjadi 2.058 anak, dan pada tahun ini turun menjadi 1.616 anak,” jelas Taufik dalam acara Konsultasi Publik terkait Rancangan Peraturan Bupati mengenai Penanganan ATS yang diselenggarakan di Balkondes Wringinputih Borobudur, Rabu (16/10/2024).
Menurut Taufik, data yang akurat menjadi kunci utama dalam menangani masalah ATS. Setelah data lengkap didapatkan, pemerintah dapat mengambil langkah intervensi yang tepat guna.
Pemerintah Kabupaten Magelang pun menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kepedulian terhadap pendidikan, salah satunya dengan melibatkan Komunitas Masyarakat Peduli Pendidikan (KMPP).
Selain kolaborasi antar pemangku kepentingan, Taufik juga menekankan pentingnya adanya payung hukum. Rancangan Peraturan Bupati terkait ATS diharapkan dapat segera disahkan sehingga pada 2025 penanganan ATS bisa lebih terstruktur, cepat, dan terlindungi secara hukum. Sumber pendanaan pun tidak hanya mengandalkan APBD, namun diharapkan bisa melibatkan pemerintah desa dan pihak non-pemerintah.
“Anak-anak yang masuk kategori ATS perlu mendapatkan penanganan agar bisa kembali bersekolah. Urgensi penanganan ini akan terasa penting di masa depan, terutama pada 25-30 tahun mendatang, ketika mereka menjadi generasi emas di tahun 2040,” kata Taufik.
Ketua KMPP, Eko Triyono, menambahkan bahwa ATS lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan dan pegunungan. Faktor tradisi masyarakat di wilayah tersebut turut memengaruhi tingginya angka ATS, sehingga penanganannya memerlukan pendekatan khusus yang melibatkan masyarakat setempat.
“Kami berupaya mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap pendidikan, terutama di lingkungan sekitar mereka, agar anak-anak dapat bersekolah setinggi mungkin,” ujar Eko Triyono.