Kota Semarang menyimpan banyak peninggalan sejarah, salah satunya adalah Monumen Ketenangan Jiwa yang berada di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara. Monumen ini merupakan pengingat akan peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang yang terjadi pada 14 Oktober 1945. Namun, tidak banyak yang mengetahui eksistensi monumen ini sebagai bagian dari sejarah penting tersebut.
Monumen Ketenangan Jiwa, yang juga dikenal sebagai Chinkon no Hi, dipercaya sebagai tempat penghormatan bagi arwah tentara Jepang yang menjadi korban dalam pertempuran itu. Monumen ini terletak di dekat Pantai Baruna, di mana sebuah batu besar berdiri sebagai pengingat akan masa lalu yang kelam.
Pertempuran 5 Hari di Semarang melibatkan bentrokan antara pejuang Indonesia dan tentara Jepang. Banyak warga sipil Jepang yang tidak dapat melarikan diri dan akhirnya terjebak dalam pertempuran ini. Tercatat, lebih dari 150 orang Jepang tewas dalam pertempuran tersebut, sebagian besar di Penjara Bulu, Semarang. Mereka tidak pernah kembali ke kampung halaman mereka, dan hanya kematian yang menjadi akhir perjalanan hidup mereka.
Di dalam monumen, terdapat ukiran tulisan yang menggambarkan kisah pilu dari para korban. Di salah satu bagian tertulis bahwa di Penjara Bulu, sebelum wafat, beberapa korban sempat menuliskan kata-kata terakhir mereka menggunakan darah, yang berbunyi: Hidup Kemerdekaan Indonesia.
Monumen ini diresmikan pada 14 Oktober 1998 oleh Wali Kota Madya Semarang saat itu, Soetrisno Soeharto, dan didirikan sebagai simbol perdamaian. Selain menjadi penghormatan bagi mereka yang tewas, monumen ini juga menjadi pengingat penting agar tragedi serupa tidak terulang kembali. Penggagas monumen, Aoki Masafumi, berharap agar pengorbanan para korban menjadi dasar untuk perdamaian dunia dan mempererat hubungan persahabatan antara Jepang dan Indonesia.
Monumen Ketenangan Jiwa sering kali menjadi tujuan wisata para keturunan korban pertempuran, khususnya dari Jepang. Setiap tahun, terutama pada bulan Agustus, keluarga korban datang untuk mengenang sejarah dan memberikan penghormatan. Upacara peringatan rutin biasanya dilakukan sebelum pandemi COVID-19 melanda, meski kini acara tersebut jarang diadakan.
Seorang warga setempat, Edi Wiyanto, yang telah menjadi penjaga monumen sejak 1998, menuturkan bahwa selain wisatawan Jepang, masyarakat lokal yang memiliki keperluan khusus juga sering datang berkunjung. Beberapa di antaranya datang dengan harapan agar permintaan atau keinginan mereka dikabulkan.
Sayangnya, meski memiliki nilai sejarah yang tinggi, Monumen Ketenangan Jiwa kini mulai terlupakan. Akses menuju monumen sering kali terendam banjir rob, terutama pada pagi hari, yang menyebabkan jalan berlumpur dan sulit dilalui. Kondisi jalan yang rusak membuat wisatawan semakin jarang mengunjungi lokasi tersebut. Hal ini membuat perawatan monumen sepenuhnya bergantung pada Edi, yang merawatnya tanpa mendapatkan bayaran.
Edi berharap pemerintah daerah dapat memberikan perhatian lebih terhadap monumen ini, dengan memperbaiki akses jalan dan mempromosikan situs sejarah ini sebagai bagian penting dari warisan Semarang. Monumen Ketenangan Jiwa adalah saksi bisu perjuangan dan pengorbanan, yang seharusnya tetap dikenang dan dilestarikan sebagai bagian dari sejarah nasional.