Transformasi Media Sosial dan Tantangan Perkembangan
Perkembangan media sosial yang begitu pesat saat ini telah mengubah pola hidup konvensional menjadi lebih digital. Aktivitas yang biasanya dilakukan secara tatap muka kini beralih ke dunia digital melalui media sosial (medsos), termasuk dalam ranah politik.
Pengguna medsos kini memanfaatkannya sebagai platform untuk menyampaikan ekspresi dengan berbagai konten kreatif, seperti komik, meme, video, dan narasi politik atau opini yang bersifat kritik maupun pemikiran cerdas sebagai respons terhadap fenomena politik. Semua ini dilakukan sebagai upaya untuk mengisi ruang-ruang demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh John Keane dalam bukunya “Democracy and Media Decadence” (2013) sebagai era kelimpahan komunikatif.
Tentu, penggunaan medsos juga membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi, medsos berfungsi sebagai wadah berbagi informasi, transformasi, dan memfasilitasi aktivitas manusia yang terkendala oleh jarak. Di sisi lain, ada pengguna yang memanfaatkannya untuk menyebarkan berita palsu (hoax), menyebar fitnah, dan melakukan propaganda yang berujung pada perpecahan.
Tantangan dan Peluang di Era Digitalisasi
Warisan revolusi industri membawa gelombang baru dalam proses demokratisasi, terutama di Indonesia, melalui digitalisasi. Teknologi digital turut mempengaruhi berbagai aktivitas politik, termasuk mobilisasi, strategi kampanye, polarisasi opini publik, dan paradigma tata kelola pemerintahan yang sebelumnya bersifat konvensional, kini hampir seluruhnya dilakukan secara digital.
Dalam era medsos, diskursus politik banyak didominasi oleh narasi-narasi sensitif seperti politik identitas, menciptakan ironi di tubuh demokrasi yang seharusnya mengedepankan rasionalitas. Fenomena ini tidak jarang dimanfaatkan oleh buzzer yang diinstruksikan oleh kelompok elit untuk memperkuat posisi politik mereka, bahkan dengan mengorbankan kualitas diskusi.
Pentingnya menciptakan demokrasi yang sehat di era digital terkait dengan risiko rezim post-truth yang memanfaatkan emosionalitas massa terhadap informasi yang disebar melalui medsos tanpa memerhatikan kebenaran fakta.
Peran Milenial dalam Demokrasi Digital
Dalam konteks demokrasi digital, milenial memiliki peran sentral. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa mayoritas milenial aktif menggunakan internet dan medsos. Penggunaan media sosial oleh milenial, yang mencapai tingkat penggunaan tertinggi, menunjukkan potensi besar generasi ini dalam membentuk demokrasi di ruang digital.
Milenial perlu berperan aktif dalam membentuk diskursus politik yang sehat di dunia digital. Mereka harus melawan narasi politik yang merugikan dan berkontribusi positif dalam ruang digital. Demonstrasi dan penolakan kebijakan tertentu pada 2019-2020 menunjukkan pengaruh milenial dalam mengawal demokratisasi melalui media sosial.
Milenial Membangun Masa Depan
Milenial harus memahami bahwa ruang digital saat ini menjadi milik mereka, dan konsep ruang publik (public sphere) Jurgen Habermas dapat diaplikasikan dalam mengoptimalkan penggunaan medsos untuk merasionalkan dominasi politik. Melalui partisipasi aktif dalam ruang-ruang publik digital, milenial dapat membentuk demokrasi digital yang sesuai harapan.
Pentingnya peran milenial dalam membentuk masa depan demokrasi digital terletak pada kemampuan mereka dalam menyuarakan diskusi politik yang sehat dan memberikan kontra narasi terhadap polarisasi yang ada. Demokrasi digital dapat menjadi alat positif asalkan dilandasi pola pikir yang kritis dan rasional. Milenial memiliki tanggung jawab untuk merawat demokrasi dengan menjaga kualitas percakapan di ruang digital, satu-satunya cara untuk melindungi nilai demokrasi yang begitu berharga dan diperjuangkan dengan pengorbanan besar.